INTENSIFITAS PENINGKATAN
KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SUKOHARJO MELALUI PEMAKSIMALAN PROGRAM
SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK KPU SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMILU YANG
DEMOKRATIS
Tugas ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Demokrasi
dan Pemilu
Yang diampu oleh :
Oleh
:
Dedy
Ari Nugroho
K6410014
PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Bismllahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala
puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan Rahmad,
Hidayah, serta Inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya
Ilmiah ini dengan judul “INTENSIFITAS
PENINGKATAN KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) KABUPATEN
SUKOHARJO MELALUI PEMAKSIMALAN PROGRAM SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK
SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS”.
Penyusunan
karya Ilmiah ini bertujuan guna memenuhi tugas mata kuliah Demokrasi dan
pemilu, yang merupakan salah satu mata kuliah yang diikuti mahasiswa semester
4, meskipun mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang terdapat pada semester
6, namun guna memenuhi SKS yang ada mata kuliah ini juga diikuti oleh semua
mahasiswa semester 4 prodi PPKn. Dalam penyusunan makalah ini penulis mengalami
beberapa kesulitan, namun berkat bantuan dari pihak-pihak terkait, makalah ini
dapat terselesaikan dengan lancar. Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu, penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada ayah dan bunda yang senantiasa
melantunkan doanya untuk penulis dan kepada Bapak Muh. Muhtarom, S.Ag, M.Si,
yang telah memberikan materi-materi yang berkaitan dengan studi demokrasi dan
pemilu.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sebuah kesempurnaan, maka
dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata
penulis ingin menyampaikan, semoga makalah bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum
Wr. Wb
Surakarta, Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
D.
Manfaat Penulisan................................................................................ 4
BAB
II PEMBAHASAN..................................................................................... 5
A.
Penerapan sistem
sosialisasi dan penegakkan kode etik KPUD sukoharjo sebagai upaya meningkatkan
kadar demokrasi masyarakat ……………………………………………………….5
B. Kriteria pemilihan
umum yang demokratis........................................... 9
BAB
III PENUTUP............................................................................................ 12
A. Kesimpulan...................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pemilu
sebagai salah satu aktifitas masyarakat suatu bangsa yang menganut system
demokrasi, merupakan suatu pencitraan dari pelaksanaan demokrasi di negeri ini.
Pemilu sebagai suatu instrumen dalam berdemokrasi di Indonesia, dalam
penyelenggaraannya harus senantiasa didasarkan pada asas langsung, umum,
rahasia, jujur dan adil sebagai konsekuensi atas terwujudnya suatu negara yang
demokratis. Asas-asas tersebut juga merupakan bukti dilakukannya reformasi
konstitusi (reformasi konstitusi
merupakan bagian dari law reform), yang telah mengubah sistem
ketatanegaraan di Indonesia secara mendasar, termasuk dalam bidang
penyelenggaraan pemilu. Keberadaan pemilu sebagai wujud dari demokrasi dari
beberapa praktiknya mampu menimbulkan suatu harapan baru bagi rakyat karena
sejak adanya pemilu aspirasi rakyat dapat dipertimbangkan sebagai suatu
pembentuk keputusan mutlak kaitannya dengan pemilihan para pemimpin bangsa.
Dalam perjalanan demokrasi Indonesia selalu
saja ada beberapa masalah pelik dan polemic yang berkembang di masyarakat
mengenai kejanggalan, keabsurban, dan permasalah kecurangan dalam pelaksanaan
pemilu. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan permasalahan kontemplasi
yang harus segera diakhiri dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah
pemaksimalan kinerja KPU sebagai salah satu lembaga independen yang dibentuk
sebagai wadah perencanaan dan pelaksanaan pemilu yang nantinya akan
diselenggarakan. Pemaksimalan kinerja ini harus segera dilakukan mengingat
permasalahan pemilu merupakan permasalahan rakyat dimana secara tidak langsung
akan menciderai hati rakyat yang telah berupaya menyalurkan suaranya melalui
secarik kertas yang dampaknya bisa sangat luar biasa bahkan menentukan
pelaksanaan pemerintahan hingga 5 tahun ke depan. Pemaksimalan kinerja KPU
tersebut dapat dicapai dengan menggunakan metode sosialisasi yang dilakukan
terhadap warga masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut system sosialisasi
dapat memunculkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara warga
masyarakat dengan pemerintah (KPU) dan sebaliknya. Pihak KPU dalam
melaksanaakan intensifitas sosialisasi mengenai kebijakan-kebijakan yang
diterapkan atau program-program yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, maka
KPU dapat mengukur sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat dan
tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan apabila di temukan permasalahan dari
suatu masyarakat. Begitu pula sebaliknya masyarakat dapat mengetahui kebijakan
ataupu segala hal yang berkaitan dengan masalah pemilihan umum, dan secara
tidak langsung dengan adanya sosialisasi yang dilakukan pihak KPU maka
masyarakat menjadi gamblang dan memperoleh kesadaran betapa pentingnya suara
mereka dalam suatu pemilihan umum.
Perhatian
pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan di tingkat tingkat pusat saja namun
KPU pusat juga berlu berkomitmen untuk mengadakan koordinasi secara terstruktur
kepada KPUD yang berada di masing-masing daerah. Seperti yang dilakukan oleh
Kabupaten Sukoharjo, kabupaten yang satu ini melakukan sosialisasi secara
terstruktur kepada masyarakat-masyarakatnya sehingga dapat dikatakan angka
golput di kabupaten Sukoharjo dapat dikatakan rendah. Namun yang menjadi
kendala saat ini adalah sosialisasi hanya dilakukan di kelurahan-kelurahan saja
dan pada umumnya yang di undang hanya masyarakat-masyarakat yang dianggap
berpengaruh seperti RT atau Ketua RW, tetapi yang menjadi masalah saat ini
adalah banyak dari para ketua RT atau RW tersebut yang tidak mempergunakan
amanaahnya dengan baik, atau tidak secara langsung menyampaikannya kepada warga
masyarakat sehingga masyarakat umum atau masyarakat yang ada di daerah yang
terbatas akses informasinya menjadi terbatasi. Hal inilah yang perlu menjadi
program lanjutan dari kabupaten Sukoharjo, bahwa adanya sosialisasi menyeluru
dengan melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat itu harus dilakukan agar
informasinya merata di segala penjuru daerah kabupaten Sukoharjo.
Untuk menghadapi pelaksanaan
Pemilihan Umum Kabupaten Sukoharjo kedepan, image KPUD Sukoharjo harus diubah
sehingga KPUD dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi
pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu Kabupaten
Sukoharjo yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi
terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi
rakyat. Sebagai anggota KPU/KPUD, integritas moral sebagai pelaksana pemilu
sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU/KPUD juga membuat KPU/KPUD
lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan
adil. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat
nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai
penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas
secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat
mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari
pengaruh pihak manapun. Dalam rangka mewujudkan KPU yang memiliki integritas
dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik
Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan
dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Maka dari itu penulis merasa perlu
mengkaji lebih dalam mengenai pelaksanaan pemilu di kabupaten Sukoharjo,
sehingga dalam makalah ini penulis mengambil judul, “INTENSIFITAS PENINGKATAN KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN
UMUM DAERAH (KPUD) KABUPATEN SUKOHARJO MELALUI PEMAKSIMALAN PROGRAM SOSIALISASI
DAN PENEGAKKAN KODE ETIK SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan data
serta penjelasan yang telah diungkapkan dalam latar belakang masalah diatas,
maka penulis dapat memberikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah
penerapan sistem sosialisasi dan penegakkan kode etik KPUD Kabupaten Sukoharjo
dapat diterapkan sebagai upaya meningkatkan kadar demokrasi masyarakat ?
b. Bagaimanakah
kriteria pemilihan umum yang demokratis sebagai pencitraan dari kredibilitas
Komisi Pemilihan Umum ?
C.
Tujuan
Penulisan
Sehubungan
dengan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka penulis memiliki
tujuan dari penulisan makalah ini, tujuan yang dimaksud adalah :
a. Mengetahui
seluk-beluk penerapan sistem koordinasi dalam KPU dapat diterapkan sebagai
upaya meningkatkan kadar demokrasi masyarakat.
b. Menganalisis
Kriteria pemilihan umum yang dinilai demokratis sebagai pencitraan dari
kredibilitas Komisi Pemilihan Umum.
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat dari
penulisan makalah ini, selain sebagai salah satu komponen pemenuhan tugas dari
Mata Kuliah Demokrasi dan pemilu, namun penulisan makalah ini juga diharapkan
berguna bagi semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Manfaat bagi
penulis, penulisan makalah ini merupakan sebuah kesempatan
bagi penulis untuk mencari dan menguak beberapa pengetahuan mengenai beberapa
system yang dapat dilakukan oleh pihak KPUD Kabupaten Sukoharjo dalam
menyelenggarakan pemilu yang bersih dan demokratis.
b. Bagi pembaca sebagai
referensi dalam membentuk pribadi yang sadar akan pentingnya berpartisipasi
dalam pemilu, sehingga mampu menekan angka golput dan meningkatkan kadar
demokrasi masyarakat di Kabupaten Sukoharjo.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENERAPAN
SISTEM SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK KPUD SUKOHARJO SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN KADAR DEMOKRASI MASYARAKAT
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum
di Indonesia, yakni meliputi Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali dalam
sistem hukum di Indonesia ini merupakan perwujudan dari demokrasi.
Penyelenggaraan pemilu tidak pernah bisa terlepas dari warga negara, karena hal
itu merupakan hak konstitusional warga negara baik untuk memilih maupun
dipilih. Lebih lanjut, pemilihan umum diselenggarakan atas dasar manifestasi
prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dan kesempatan yang
sama dalam pemerintahan (equal opportunity principle).
Dalam
bidang penyelenggaraan pemilu, dilakukan oleh KPU atau KPUD. Secara normatif,
eksistensi KPU untuk menyelenggarakan pemilu diatur di dalam Pasal 22E ayat (5)
UUD 1945 yang menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu oleh suatu komisi
pemilihan umum. Kata suatu pada UUD 1945 menunjukkan makna subjek yang kabur
dan tidak jelas, lain halnya dengan makna kata sebuah yang disebutkan pada
kekuasaan kehakiman oleh sebuah MA dan MK. Di samping itu, eksistensi KPU
merupakan suatu komisi negara. Posisi komisi negara secara hierarki sebagai
lembaga penunjang atas lembaga negara utama seperti MPR, DPR, DPD, Presiden,
MA, MK dan BPK. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, KPU berperan sebagai
saluran untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Pengaturan pemilu ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku. Pemilu merupakan suatu instrumen demokrasi
yang sangat penting, mengingat pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat tersalurkan
untuk lima tahun sekali untuk memilih wakil dan pemimpin rakyat. Pemilu
merupakan titik awal terbentuknya suatu pemerintahan negara dalam upaya
mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi sehingga tercapainya kesejahteaan
rakyat. Selain itu KPU juga berperan dan berwenang dalam KPU mempunyai tugas
kewenangan sebagai berikut : yaitu, merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan
Pemilihan Umum; menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang
berhak sebagai peserta Pemilihan Umum; membentuk Panitia Pemilihan Indonesia
yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum
mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya
disebut TPS; menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk
setiap daerah pemilihan; menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua
daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II; mengumpulkan dan
mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum; memimpin tahapan
kegiatan Pemilihan Umum.
Dengan
adanya penjelasan mengenai tugas dan kewenangan KPU di atas, maka sebenarnya
kita dapat melakukan analisis dari evaluasi pelaksanaan pemilu yang selama ini
berlangsung. KPU dalam mengkoordinasi kegiatan pemilihan umum mulai dari
tingkat pusat sampai pada tempat pemungutan suara tentu saja diperlukan suatu
system sosialisasi yang memadai sebagai salah satu upaya dalam mempermudah
koordinasi yang dilakukan. Koordinasi ini dapat dilakukannya dengan mengadakan
hubungan-hubungan dengan KPUD-KPUD yang tersebar di berbagai daerah untuk mem-
back up pelaksanaan pemilu di masing- masing daerah. KPUD inilah yang
diharapkan lebih intensif dalam melakukan koordinasi serta sosialisasi kepada masyarakat
dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan. Salah satu kabupaten yang telah
melaksanakan system sosialisasi adalah Kabupaten Sukoharjo, namun kabupaten
sukoharjo dalam beberapa pelaksanaan sosialisasinya dinilai oleh masyarakat
kurang menyeluruh ke daerah-daerah yang pinggir. Sebagian besar dari penerapan
sosialisasinya hanya dilakukan di tingkat kelurahan-kelurahan dengan undangan
yang terbatas, sehingga informasi yang di dapatkan oleh masyarakat umum sering
kali kurang menyeluruh.
Sistem sosialisasi dalam hal ini
merupakan suatu cara yang dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai suatu
hal dalam konteks kebijakan pelaksanaan pemilihan umum dari pihak KPU/KPUD
kepada masyarakat umum melalui pendekatan-pendekatan tertentu serta mengandung kata-kata
persuasive kepada masyarakat. Sosialisasi pada umumnya merupakan suatu tindakan
yang lazim dilakukan oleh pemerintah dalam mengenalkan cara melakukan pemilihan
calon legislatif bagaimana seluk-beluknya serta memberikan penerangan mengenai
pentingnya suara masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka. Namun, dari
beberapa kasus yang ada sosialisasi nyatanya menjadi instrument yang fundamen,
hal ini dikarenakan melalui sosialisasi masyarakat tidak buta kebijakan, bahkan
bisa di bilang bahwa meningkatnya kasus masyarakat yang golput adalah buah dari
minimnya sosialisasi yang dilakukan, sehingga secara garis besar minimnya
sosialisasi menjadikan masyarakat umum tidak mengetahui hakikat pemilu bagi
kehidupan mereka. Tidak hanya itu, masyarakat sekarang ini cenderung memilih
calon atau partai yang memberikan penawaran lebih nyata berupa uang tunai bayar
dimuka dengan ketentuan memilih partai atau calon terkait, atau dalam
kesehariannya disebut money politik. Beberapa
kasus tersebut merupakan suatu persoalan yang kini kerap mengiringi eksistensi
pemilu di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Sukoharjo, dengan adanya kasus
tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya berfikir instan dan
cenderung tidak mempedulikan kehidupan mereka lima tahun kedepan, maka dari itu
intensifitas system sosialisasi harus
benar-benar digalakkan karena walaupun system ini merupakan system sederhana
dan dasar tetapi melalui sosialisasi sebenarnya dasar-dasar hakikat pemilu itu
mulai ditanamkan, jika sosialisasi lemah maka kesadaran politik dan partisipasi
politik lemah namun jika sosialisasi intensif dilakukan maka kesadaran politik
akan senantiasa tertanam dan partisipasinya sudah barang tentu akan meningkat. Sehingga
dengan adanya system sosialisasi secara menyeluruh baik di daerah-daerah yang
mudah dijangkau sampai daerah-daerah terpencil di Kabupaten Sukoharjo perlu
segera di galakkan, sehingga secara tidak langsung pengetahuan masyarakat
mengenai seluk-beluk pemilu akan meningkat dan diharapkan dengan system
tersebut partisipasi masyarakat meningkat dan segala sesuatunya berjalan secara
demokratis.
Di era yang
semakin modern ini Sistem sosialisasi tidak hanya dapat dilakukan melalui tatap
muka langsung. Tetapi pihak KPU/KPUD kabupaten Sukoharjo juga dapat
memanfaatkan keadaan yang serba tersedia ini, misalnya dengan internet untuk
membuat situs atau Website yang menyediakan informasi-informasi mengenai
kebijakan pelaksanaan pemilu yang akan dilaksanakan. Hal ini juga akan sangat
berperan terutama bagi para masyarakat dengan kesibukan kariernya, dan tidak
bisa meluangkan waktunya untuk mengikuti sosialisasi langsung dapat membuka
website pada waktu-waktu senggangnya.
KPU/KPUD
dalam menjalankan tugasnya haruslah di atur atau dibatasi tingkah polahnya
melalui suatu atauran yang tergabung dalam bentuk Kode Etik KPU yang berisi
aturan-aturan yang harus ditaati oleh KPU itu sendiri. Latar belakang perlunya
kode etik dalam tubuh KPU yaitu karena tidak sedikit kasus-kasus yang
menciderai komisi ini baik adanya kasus korupsi maupun kasus suap yang sering
kali menjadi perbincangan hangat di sebagian besar media masa. Kode etik yang
sudah dibentuk akan terlihat eksistensinya pada saat aturan itu ditegakkan bagi
para pegawainya, terikatnya para pegawai KPU/KPUD menunjukkan bahwa KPU
tersebut memiliki aturan main bagi para pegawainya agar tidak sewenang-wenang
melakukan tindakan yang dapat mencoreng citra KPU/KPUD di mata Masyarakat.
Sehingga dapat dirumuskan bahwa dalam rangka mewujudkan KPU yang memiliki
integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, maka dari itu seluruh
Kode Etik Penyelenggara Pemilu harus digalakkan.
B.
KRITERIA
PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS SEBAGAI PENCITRAAN DARI KREDIBILITAS KOMISI
PEMILIHAN UMUM
Sejak awal
pertumbuhannya, ide dasar demokrasi sejatinya merupakan sarana penghormatan
terhadap martabat kemanusiaan (human dignity). Demokrasi
diharapkan mampu menjadi instrumen dalam memelihara nilai-nilai peradaban
kemanusiaan, terutama agar transisi kekuasaan dan proses penyelenggaraan
pemerintahan dapat dikelola secara baik. Indikator paling menonjol dalam sebuah
masyarakat demokratis adalah digelarnya sebuah pemilihan umum (pemilu) yang
jujur, bersih, adil, terbuka dan berkeadaban. Penyelenggaraan pemilu yang
demokratis menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang
kuat di mata publik. Kekuasaan akan mudah goyah bila kemenangan dalam pemilu
diraih dengan cara-cara yang tidak demokratis. Legitimasinya lemah, rentan
konflik, dan memicu prahara sosial. Pemilu yang berlangsung secara tidak
demokratis juga akan melahirkan konflik horizontal dan merusak kohesi sosial yang
dalam jangka panjang akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Secara
substantif, pemilu akan berlangsung secara demokratis bila mampu menyediakan
ruang publik (public sphere) yang seluas-luasnya bagi segenap rakyat dalam
mewujudkan kedaulatannya. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus bisa
mengartikulasikan aspirasi, kehendak dan kepentingannya secara merdeka.
Rakyat harus bebas memanfaatkan ruang publiknya dengan menentukan calon pemimpinnya sendiri baik yang akan mengisi kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Secara prosedural, tahapantahapan pemilu yang dilakukan bisa menjelmakan hak-hak substantif rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan dengan konsisten memegang teguh prinsipprinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan.Kendati perlu dihindari proses-proses politik yang dilalui tidak terjebak pada demokrasi prosedural, yang justru menutupi esensi dan substansi demokrasi itu sendiri. Secara institusional,penyelenggara pemilu harus benarbenar independen, imparsial dan profesional. Tanpa keberadaan penyelenggara pemilu yang berkualitas, demokrasi tidak akan tumbuh secara baik. Kualitas demokrasi amat sangat ditentukan oleh hadirnya pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak elite politik tertentu. Karena itu, upaya-upaya sistematis yang berusaha mencederai proses penyelenggaraan pemilu terutama dalam proses penghitungan suara harus diantisipasi dan dicegah.
gagasan mengenai Kriteria Pemilu Demokratis sebenarnaya mulai digalakkan sejak awal keberlangsungan pemilu di Indonesia, gagasan mengenai cirri pemilu yang demokratis dapat ditinjau dari pendapat beberapa ahli, beberapa diantaranya adalah Austin Ranney (1982) merumuskan delapan kriteria pokok sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pertama, adanya hak pilih umum (aktif maupun pasif). Dalam pemilu eksekutif ataupun pemilu legislatif, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam ruang publik (public sphere) untuk memilih dan dipilih.Kedua, kesetaraan bobot suara: tidak ada seseorang atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan bobot suara yang berbeda dengan yang lainnya.Ketiga, tersedianya pilihan kandidat dari latar belakang ideologis yang berbeda. Keempat, lahirnya kebebasan nominasi bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.Kelima,persamaan hak kampanye.Semua calon diberi kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye. Keenam, kebebasan warga negara dalam memberikan suara tanpa tekanan dan diskriminasi. Ketujuh, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.Kedelapan, penyelenggaraan pemilu secara periodik. Dalam konteks Indonesia, kriteria yang dirumuskan Ranney tersebut sebagian besar sudah terpenuhi. Kecuali yang masih rawan dicederai adalah kriteria ketujuh, yaitu kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara. Selama penyelenggara pemilu tidak mencerminkan sikap independensi, imparsialitas dan profesionalismenya,maka kerawanan dalam proses penghitungan suara akan selalu terjadi. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan akan menyeruak. Situasi demikian akan menjadi pemantik konflik antar individu dan kelompok di masyarakat dan menguras energi bangsa.
Karena itu, penyelenggara pemilu mesti memahami betul spirit amanat UUD 1945 Bab VII B Pasal 22E ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini menuntut komisioner yang memiliki rekam jejak yang clean and clear sehingga segala keputusannya tidak berpihak (impartial),sah (legitimated) dan dipercaya (credible). Menurut Wall et al (2005), penyelenggara pemilu mesti memenuhi prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak), integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil (civil society) yang kritis, cerdas, rasional, dan bertanggung jawab menjadi percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip keadilan dan fairness dalam setiap proses tahapan pemilu.
Rakyat harus bebas memanfaatkan ruang publiknya dengan menentukan calon pemimpinnya sendiri baik yang akan mengisi kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Secara prosedural, tahapantahapan pemilu yang dilakukan bisa menjelmakan hak-hak substantif rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan dengan konsisten memegang teguh prinsipprinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan.Kendati perlu dihindari proses-proses politik yang dilalui tidak terjebak pada demokrasi prosedural, yang justru menutupi esensi dan substansi demokrasi itu sendiri. Secara institusional,penyelenggara pemilu harus benarbenar independen, imparsial dan profesional. Tanpa keberadaan penyelenggara pemilu yang berkualitas, demokrasi tidak akan tumbuh secara baik. Kualitas demokrasi amat sangat ditentukan oleh hadirnya pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak elite politik tertentu. Karena itu, upaya-upaya sistematis yang berusaha mencederai proses penyelenggaraan pemilu terutama dalam proses penghitungan suara harus diantisipasi dan dicegah.
gagasan mengenai Kriteria Pemilu Demokratis sebenarnaya mulai digalakkan sejak awal keberlangsungan pemilu di Indonesia, gagasan mengenai cirri pemilu yang demokratis dapat ditinjau dari pendapat beberapa ahli, beberapa diantaranya adalah Austin Ranney (1982) merumuskan delapan kriteria pokok sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pertama, adanya hak pilih umum (aktif maupun pasif). Dalam pemilu eksekutif ataupun pemilu legislatif, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam ruang publik (public sphere) untuk memilih dan dipilih.Kedua, kesetaraan bobot suara: tidak ada seseorang atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan bobot suara yang berbeda dengan yang lainnya.Ketiga, tersedianya pilihan kandidat dari latar belakang ideologis yang berbeda. Keempat, lahirnya kebebasan nominasi bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.Kelima,persamaan hak kampanye.Semua calon diberi kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye. Keenam, kebebasan warga negara dalam memberikan suara tanpa tekanan dan diskriminasi. Ketujuh, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.Kedelapan, penyelenggaraan pemilu secara periodik. Dalam konteks Indonesia, kriteria yang dirumuskan Ranney tersebut sebagian besar sudah terpenuhi. Kecuali yang masih rawan dicederai adalah kriteria ketujuh, yaitu kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara. Selama penyelenggara pemilu tidak mencerminkan sikap independensi, imparsialitas dan profesionalismenya,maka kerawanan dalam proses penghitungan suara akan selalu terjadi. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan akan menyeruak. Situasi demikian akan menjadi pemantik konflik antar individu dan kelompok di masyarakat dan menguras energi bangsa.
Karena itu, penyelenggara pemilu mesti memahami betul spirit amanat UUD 1945 Bab VII B Pasal 22E ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini menuntut komisioner yang memiliki rekam jejak yang clean and clear sehingga segala keputusannya tidak berpihak (impartial),sah (legitimated) dan dipercaya (credible). Menurut Wall et al (2005), penyelenggara pemilu mesti memenuhi prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak), integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil (civil society) yang kritis, cerdas, rasional, dan bertanggung jawab menjadi percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip keadilan dan fairness dalam setiap proses tahapan pemilu.
Berdasarkan
data diatas beberapa karakteristik pemilu yang demokratis telah dipaparkan oleh
beberapa ahli, dan berkaitan dengan hal tersebut dapat kita analisis bahwa
beberapa diantaranya telah dilaksanakan dan tersarikan dalam pelaksanaan pemilu
di Indonesia. Konsep pemilu yang demokratis pada hakikatnya merupakan suatu
konsep yang normative, dimana peran serta masyarakat dengan segala hak
konstitusionalnya dalam memberikan suaranya menjadi hal yang fundamen dalam
penentuan kepemimpinan suatu Negara. Konsep pemilu yang demokratis dapat
diterapkan secara optimal apabila ada aksen-aksen penekanan kepada warga
masyarakat secara intensif, hal ini mengingat Negara Indonesia terdiri dari
berbagai suku atau etnisitas yang memungkinkan adanya perbedaan sikap dan
pembawaan. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut penerapan system pemilu yang
selama ini dilakukan Indonesia harus benar-benar diperbaiki, dimana didalamnya
harus mampu mewujudkan insane-insan pemerintahan yang accountable atau
bertanggungjawab sehingga pribadi-pribadi pemerintah (KPU) yang terbentengi
dari sikap korup dan suap yang semakin lama semakin menggerus moral bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan dari
makalah diatas, maka dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan isi dari
penjelasan makalah ini, kesimpulan yang dimaksud adalah :
·
Sistem
sosialisasi dalam hal ini merupakan suatu cara yang dilakukan dengan memberikan
penjelasan mengenai suatu hal dalam konteks kebijakan pelaksanaan pemilihan
umum dari pihak KPU/KPUD kepada masyarakat umum melalui pendekatan-pendekatan
tertentu serta mengandung kata-kata persuasif kepada masyarakat.
·
Intensifitas
system sosialisasi harus benar-benar digalakkan karena walaupun system ini
merupakan system sederhana dan dasar tetapi melalui sosialisasi sebenarnya
dasar-dasar hakikat pemilu itu mulai ditanamkan, jika sosialisasi lemah maka
kesadaran politik dan partisipasi politik lemah namun jika sosialisasi intensif
dilakukan maka kesadaran politik akan senantiasa tertanam dan partisipasinya
sudah barang tentu akan meningkat.
·
Dalam rangka
mewujudkan KPU yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara
Pemilu, maka dari itu seluruh Kode Etik Penyelenggara Pemilu harus digalakkan.
·
Penyelenggara pemilu mesti memenuhi karakteristik
atau prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak),
integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi),
professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada
pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil
(civil society) yang kritis, cerdas, rasional, dan bertanggung jawab menjadi
percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan, berkaitan dengan
penjelasan mengenai “Intensifitas Peningkatan Kredibilitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Kpud)
Kabupaten Sukoharjo Melalui Pemaksimalan Program Sosialisasi Dan Penegakkan
Kode Etik Sebagai Upaya Mewujudkan Pemilu Yang Demokratis”.
Diatas, maka saran yang dapat
diberikan adalah :
a. Pemerintah perlu memperhatikan aksen-aksen dasar seperti
sosialisasi dan melaksanakannya secara intensif, agar masyarakat tidak buta
informasi.
b. Penegakkan kode etik harus benar-benar di tegakkan bagi para
pegawa atau pejabat KPU agar kasus-kasus seperti korupsi, suap dan lain
sebagainya tidak mewarnai citra KPU.
c. Pemerintah harus memperhatikan evaluasi dari masyarakat umum
demi perbaikan pemilu kedepan.
d. Masyarakat seharusnya membentengi diri dengan
informasi-informasi kebijakan pemilu dan menolak money politi, meskipun dalam
keadaan terdesak.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Rasiyd, Fauzan. 2012. “Mewujudkan pemilu yang demokratis”. (online). (Http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/fauzan-ali-rasiyd.html), diakses 10 Juni 2012.
Anonim. 2010. “Pelaksanaan
pemilu Kabupaten Sukoharjo”. (online), (http://google.com/2010/07/16/pemilihan-umum-kab.Sukoharjo.html), diakses 10Juni 2012.
Anonim. 2009. “system
pembaharuan untuk pemilu kedepan”. (online), (http://google.com/ 811-seminar-pemilu-dan-demokrasi_files.html), diakses 10 Juni 2012.
Anonim. 2004. “menyongsong
pemilu yang demokratis”. (online), (http://google.com/2004/a#5457/
Menuju
Pemilu Demokratis « Gagasan Hukum_files.html), diakses 10Juni 2012.
Arul, Muhammad. 2009. “peran
KPU dalam proses sosialisasi kebijakan”. (online),
(http://google.com/
Membangun Independensi KPU « Arul Muhammad_files.html), diakses 10
Juni 2012.
Anonim. 2010. “sistem
sosialisasi sebagai system fundamental penanaman pengetahuan pemilu”. (online), (http://google.com/7612267#t543/
sosialisasi-pemilu –perlu-digalakkan.html), diakses 10Juni 2012.
......
BalasHapus