Senin, 25 Maret 2013

Posted by Unknown On 04.46

INTENSIFITAS PENINGKATAN KUALITAS GURU PKn MELALUI SISTEM KOORDINASI SEBAGAI USAHA MENCAPAI KREDIBILATAS GURU PKn DALAM MENANGGULANGI KERUSAKAN MORAL
GENERASI BANGSA
(Di tinjau dari kasus Nazzarudin sebagai cermin kemerosotan nilai moral bangsa)



Tugas ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Korupsi dan Patologi Sosial
Dosen Pengampu  : Dra. Ch Baroroh, M.Si
Oleh :
Dedy Ari Nugroho
K6410014

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Dalam era modernisasi seperti sekarang ini berbagai dinamika dan pola pikir masyarakat semakin berkembang, entah berkembang dalam lingkup kebrutalan atau kearah kebaikan. Kemajuan jaman ini kadang kala juga di tandai dengan merebaknya isu-isu moral yang berkaitan dengan kasus-kasus kejahatan yang kini kerap terjadi, seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang, merampas, menipu, mencari bocoran soal ujian, perjudian, pelacuran, pembunuhan, atau bahkan kasus-kasus korupsi yang justru dilakukan oleh oknum-oknum yang sadar hukum, beberapa kasus tersebut merupakan suatu tindakan yang menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sudah menjurus kepada tindak kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru ( pendidik ). Berkaitan dengan hal tersebut pada prinsipnya keberadaan guru terutama seorang guru PKn yang memiliki kredibilitas dan dedikasi tinggi serta memiliki komitmen tinggi untuk memajukan bangsa sangatlah dibutuhkan, guru yang memiliki criteria sedemikian rupa oleh beberapa pakar disebut sebagai guru yang berkarakter. Guru PKn pada dasarnya memiliki kompetensi pembentukan moral yang cukup memadai untuk mengarahkan peserta didik menjadi lebih bermoral, karena pada dasarnya seorang Calon guru PKn telah terlebih dahulu dibekali dengan ilmu moral dan etika, sehingga dinilai paling berpotensi dalam menanggulangi permasalahan moral bangsa. 
            Seorang calon guru harus mempunyai karakter yang kuat dan cerdas. Karena guru dituntut untuk menyiapkan peserta didik yang berkualitas serta berkompeten untuk masa depannya. Guru yang berkarakter kuat, bukan hanya mampu mengajar saja akan tetapi mampu mendidik. Bukan hanya mentransfer pengetahuan saja, tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengarungi hidupnya. Guru yang dikatakan cerdas bukan hanya memiliki kemampuan yang bersifat intelektual saja tetapi juga memiliki kemampuan secara emosi dan spiritual sehingga guru mampu membuka hati peserta didik untuk belajar dan mampu hidup dengan di tengah-tengah masyarakat.
            Sosok guru yang berkarakter kuat di harapan mampu mengemban amanah dalam mendidik peserta didiknya.untuk menjadi guru atau tenaga pendidik yang andal  harus memiliki seperangkat kompetensi. Kompetensi utama yang melekat pada tenaga didik adalah nilai-nilai keamanahan, keteladanan, dan mampu melakukan pendekatan pedagogis serta mampu berpikir dan bertindak cerdas. Menjadi guru yang luar biasa juga perlu dikalangan mahasiswa fkip yaitu harus mampu memberikan dan menumbuhkan inspirasi agar peserta didiknya dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan juga mampu terhindar dari ganasnya ancaman jaman yang kini tak mengenal batas toleransi. Sehingga dengan adanya karakter serta kompetensi seorang guru terutama guru PKn seperti yang telah dijelaskan diatas, akan mampu menghentikan pertumbuhan bibit-bibit korupsi seperti yang dilakukan oleh Nazzarudin yang kini telah menjadi perbincangan hangat di kalangan pemburu berita. Berdasarkan penjelasan serta data dalam latar belakang masalah diatas maka penulis merasa tertari untuk mengetahui komitmen serta criteria guru PKn dalam memberantas kemerosotan moral, sehingga dalam hal ini penulis mberinisiatif untuk mengangkat judul “INTENSIFITAS PENINGKATAN KUALITAS GURU PKn MELALUI SISTEM KOORDINASI SEBAGAI USAHA MENCAPAI KREDIBILATAS GURU PKn DALAM MENANGGULANGI KERUSAKAN MORAL  GENERASI BANGSA”, dimana penulis mengaitkannya pula dengan kasus yang kini banyak diperbincangkan, yaitu mengenai kasus korupsi oleh Nazzarudin yang dinilai merupakan pencerminan dari adanya kemerosotan moral bangsa.


B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan data serta penjelasan yang telah diungkapkan dalam latar belakang masalah diatas, maka penulis memberikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut  :
1.      Bagaimanakah system koordinasi diantara guru PKn dapat dibentuk untuk memperbaiki moral peserta didik dan tidak terjerumus kearah tindakan yang korup ?
2.      Apa sajakah kriteria seorang calon guru PKn yang dapat membentuk generasi yang bermoral  ?

C.    Tujuan Penulisan
            Sehubungan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka penulis memiliki tujuan dari penulisan makalah ini, tujuan yang dimaksud adalah :
1.      Menjelaskan system koordinasi diantara guru PKn dapat dibentuk untuk memperbaiki moral peserta didik.
2.      Menyebutkan kriteria- kriteria seorang calon guru PKn yang dapat membentuk generasi yang bermoral.

D.    Manfaat Penulisan
            Manfaat dari penulisan makalah ini, selain sebagai salah satu komponen pemenuhan tugas dari Mata Kuliah Korupsi dan Patologi Sosial, namun penulisan makalah ini juga diharapkan berguna bagi semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah sebagai berikut  : Manfaat bagi penulis, penulisan makalah ini merupakan sebuah kesempatan bagi penulis untuk mencari dan menguak beberapa pengetahuan mengenai kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan seorang Guru PKn untuk menghambat dan bahkan menghentikan terjadinya kemerosotan moran para generasi muda melalui pendidikan. Selain itu makalah ini juga diharapkan bermanfaat bagi pembaca sebagai referensi dalam membentuk pribadi yang bermartabat, sehingga mampu membentengi diri dari sikap yang korup.
BAB II
PEMBAHASAN


A.    INTENSIFITAS SISTEM KOORDINASI GURU PKn SEBAGAI SARANA PEMBENTUK MORAL PESERTA DIDIK

            Realita menunjukkan, di dalam kehidupan sehari-hari masih saja ditemukan orang cerdas tetapi  kurang arif, orang kaya tetapi tidak dermawan, orang berkuasa tetapi tidak amanah,  tokoh masyarakat tetapi tidak memberi teladan, pemimpin tetapi tidak berpihak pada kepentingan bersama (rakyat banyak), saling menjatuhkan, pencurian benda-benda kuno yang menyimpan sejarah, pengeboman, dan tindakan-tindakan anarkis-destruktif serta tindakan-tindakan korup seperti perilaku yang disuguhkan oleh beberapa oknum yang sadar hukum seperti Nazzarudin dan juga perilaku lain yang sangat merugikan kelanjutan kehidupan bangsa. Untuk itulah peran pendidikan sangat penting, sebagaimana  tersirat dan tersurat dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
            Berbagai system serta beberapa metode pengajaran telah dicoba oleh para oknum pendidik, namun masih saja belum mampu membendung tindakan-tindakan yang tidak bermoral di negeri ini. Bahkan yang menjadi fenomena yang cukup mencengangkan adalah adanya aksi-aksi anarkis, tawuran, serta tindakan-tindakan criminal lainnya dilakukan oleh para bibit-bibit bangsa yaitu pelajar. Disinilah pertanyaan dan polemic bermunculan dan mempertanyakan eksistensi seorang guru. Berkaitan dengan hal tersebut tibullah inisiatif untuk mempergunakan suatu system yang disebut sistem koordinasi.
            Sistem Koordinasi merupakan suatu system yang bertujuan untuk mengusahakan tercapainya suatu keseragaman tindakan penyelamatan bibit bangsa dari kemerosotan moral melalui kajian pendidikan ddengan melakukan hubungan yang sinergi diantara para pendidik di wilayah domisilinya. System ini dirasa tepat jika diterapkan oleh para pendidik atau guru yang mengampu mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan (PKn), hal ini tidak aneh mengingat seorang guru PKn dalam masa pendidikannya telah dibekali dengan ilmu-ilmu moral serta etika sehingga ketika guru PKn itu telah terjun dalam tatap muka pengajaran, guru PKn tersebut sangat berpotensi menanamkan ajaran-ajaran moral yang dibutuhkan ditengah situasi bangsa yang begitu krusial. Seorang guru PKn dapat menggunakan system ini dan melakukan koordinasi antar guru PKn diwilayahnya, sehingga dari hasil koordinasi ini dapat ditemukan beberapa permasalahan penanaman moral yang dapat didiskusikan dan dipecahkan bersama diantara guru PKn. 
            Hal tersebut diatas, sangat sesuai dengan bunyi pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, dikatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar yang bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.  Selanjutnya standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (PP. 19 tahun 2005). Dengan kata lain, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan moral peserta didik, sebagai potensi  karakter bangsa.Hal ini mengandung pesan bahwa pendidikan kewarganegaraan ikut mengambil peran strategis dalam  membentuk karakter bangsa yang bermoral. Dengan adanya penjelasan diatas telah Nampak jelas bahwa system Koordinasi memang benar-benar dibutuhkan untuk membentuk akhlak dan moral itu sendiri.
            Esensi Pendidikan Kewarganegaraan adalah pembangunan watak dan karakter bangsa. Seperti dikemukakan oleh Malik Fajar, bahwa Pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana pengembangan kemampuan, watak dan karakter warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Istilah yang sering digunakan selain pendidikan kewarganegara- an  adalah civics.  Istilah civics hampir sama maknanya dengan kata citizenship. Pengertian kata Civics dalam hal ini merujuk pada ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan antara:
a)      Individu dan perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial,  organisasi ekonomi, dan organisasi politik).
b)      Individu  dan negara.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan  satu di antara tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission. Saat ini citizenship tranmission telah berkembang menjadi  tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek sosial budaya (Winataputra, 2004). Pendidikan kewarganegaraan merupakan  bidang kajian yang menghubungkan berbagai  dimensi ilmu seperti psikologi, sosial budaya, ilmu politik dan ilmu pendidikan yang relevan. Hal ini berimplikasi terhadap proses pendidikan bagi warga negara Indonesia dalam konteks pengembangan etika, akhlak dan moral sehingga menghambat pengembangan bibit-bibit manusia yang tidak bermoral seperti para koruptor atau Nazzarudin-Nazzarudin lain di bumi pertiwi melalui sistem pendidikan nasional.


B.     KRITERIA CALON GURU PKN YANG DAPAT MEMBENTUK GENERASI YANG BERMORAL DAN JAUH DARI SIFAT KORUP

            Guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab  dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. (Prof.Dr. H. Hamzah B. Uno, M,pd. 2007: 15). Sedangkan orang jawa mengatakan guru itu seseorang yang digugu lan ditiru. Jadi seorang guru memunyai tujuan yaitu menuntun anak didiknya untuk menggapai cita-cita yang ingin dicapainya dan juga Tujuan umum dari seorang guru kepada anak didiknya yaitu mengarahkan anak didiknya agar mampu melaksanakan tugas tuhan dengan sebaik-baiknya, mampu melaksanakan tugas kemanusiaan, mampu melaksanakan tugas masyarakat dengan sebaik-baiknya, mampu melaksanakan tugas negara dengan sebaik-baiknya, dan mampu melaksanakan tugas pribadi dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui kegiatan belajar-mengajar khususnya di lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi dengan adanya seorang pendidik atau guru, karena guru merupakan jantungnya pembelajaran  dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (M.Furqon Hidayatullah : Xi).
            Untuk membentuk mental dan kemampuan diri seorang pendidik, mereka bukan harus mentransfer ilmu pengetahuan serta membentuk karakter dan moral, tetapi seorang guru juga harus mampu melampaui atau minimal memiliki beberapa diantara kriteria guru terutama guru PKn sebagai berikut  :
1.      Seorang guru harus memiliki sifat Nasionalisme dan mampu  membangun moral siswa dengan penanaman Nasionalisme
Penjelasan  :
Manusia tidak bisa lepas dari kata “moral”. Karena hanya manusia yang mempunyai kesadaran untuk berbuat baik atau buruk. Seperti yang diungkapkan oleh Riyanto (2007), bahwa kata “moral” mengacu pada baik dan buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya dan cara mengungkapkannya. Sedangkan pengertian moral menurut Mahendra, adalah nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Masalah moral harus diperhatikan setiap manusia, karena baik buruknya moral setiap pribadi menentukan kualitas suatu bangsa. Nilai moral bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Karena dengan nilai-nilai Pancasila kita dapat bertindak dan bersikap sebagai makhluk Tuhan serta sebagai bagian dari komunitas sebuah Negara. Dalam hubungannya dengan bangsa dan negara setiap pribadi juga dituntut untuk mempunyai rasa kebangsaan atau nasionalisme.
      Membangun moral dengan nasionalisme harus ditanamkan sejak dini, terutama pada siswa usia Sekolah Dasar (SD). Sebab di SD merupakan basic pendidikan, sedangkan moral merupakan landasan utama dalam melakukan seluruh aktivitas dalam kehidupan. Pergaulan siswa SD belum begitu komplek dibanding siswa SMP atau SMA. Oleh karena itu jika penanaman moral dimulai sejak SD akan lebih mengakar dan tertanam dalam diri siswa.  Memang tidaklah adil jika kemerosotan moral kita timpakan sepenuhnya pada pribadi siswa. Mereka merupakan korban kelalaian orang dewasa yang selalu berkonsentrasi pada urusan duniawi yang tiada habis-habisnya. Padahal orang dewasa atau generasi tua sering dijadikan teladan oleh anak-anak. Jika tokoh teladannya sibuk dengan dirinya sendiri, akibatnya mereka kehilangan tokoh panutan dan berbuat semau gue. Menurut Riyanto dan Handoko (2005:77), setiap anak membutuhkan perhatian, sapaan, perhargaan secara positif dan cinta tanpa syarat untuk mengembangkan dirinya yang berharga. Tetapi sekarang bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Yang terpenting lagi, bagaimana cara membenahi dan mengurangi kemerosotan moral. Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa mereka adalah aset bangsa yang tak ternilai. Mereka adalah calon pemikir bangsa yang harus dipersiapkan untuk membawa bangsa dan negara ini menuju era keemasan.

2.      Seorang guru harus berkarakter kuat contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang yang tinggi, atau pantang menyerah
Penjelasan  :
Semangat juang seorang guru dapat diukur dengan eksistensi guru tersebut dalam mendidik dan berkontribusi dalam dunia didik-mendidik. Semangat juang ini berdampak pada kemampuan peserta didik secara kontinyu menyerap pembelajaran dari seorang guru yang begitu antusias dalam mendidik. Selain itu sifat yang tangguh dari seorang guru juga merupakan suatu kriteria yang sangat dibutuhkan, karena dengan sifat yang tangguh dari seseorang maka segala bentuk halangan baik halangan dari lingkungan mengajar maupun sikap peserta didik yang kadang kala menjengkelkan. Apabila seorang pendidik mampu menerapkan sikap tangguh dan ulet niscaya seorang guru mampu menggapai harapannya untuk membentuk generasi bangsa yang cerdas dan bermoral pancasila.
3.      Seorang guru harus bisa menginspirasi peserta didiknya
Guru yang luar biasa adalah guru yang mampu memberikan dan menumbuhkan inspirasi agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara optimal ( M. Furqon Hidayatullah. 2009: 235). Hal ini berkaitan dengan seorang guru yang lihai dalam membalik-balikan lidah, pandai dalam mengolah kata sehingga setiap kata yang keluar dari mulut seorang guru menjadi inspirasi pada diri anak didik. Inspirasi itu bisa muncul pada diri anak didik ketika kita menceritakan suatu pengalaman atau berita yang di dalamnya ada nilai keteladanan yang bisa mengetuk hati dan pikiran anak didik. Sehingga secara tidak langsung seorang peserta didik dapat terangsang hatinya menjadi hati yang memegang teguh moralitasnya.
4.      Seorang guru harus memiliki integritas tinggi dalam mendidik
Seorang pendidik yang luar biasa harus memiliki intergritas, yaitu adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan atau satunya kata atau tindakan. inti dari integritas adalah terletak pada kualitas istiqomahnya. Sebagai pengejawantahan istiqomah adalah berupa komitmen dan konsistensi terhadap profesi yang diembannya. ( M. Furqon Hidayatullah. 2009: 106 ) jadi jika teori-teori yang kita berikan kepada anak didik dan cerita-cerita tauladan untuk memotivasi anak didik tidak sesuai dengan apa biasa kita lakukan sehari-harinya itu belum dikatakan sebagai guru yang luar biasa. Contohnya kita mengatakan kepada anak didik bahwa merokok itu tidak baik dan mengganggu kesehatan, tetapi pada kenyataannya justru seorang pendidik tersebut adalah perokok dan belum bisa menghentikan kebiasaan buruk tersebut. Seperti itu contoh seorang pendidik yang belum bisa dikatakan guru yang luar biasa, hanya menasihati saja akan tetapi dirinya sendiri belum bisa menjalakannya. Dengan integritas yang tinggi dari seorang guru bukan tidak mungkin jika akan terbentuk suatu pribadi yang memiliki moral yang baik karena integritas yang disuguhkan para pendidiknya.
5.      Seorang guru/calon guru PKn harus memiliki landasan batin berdasarkan ketuhanan (memiliki ketaqwaan)
Penjelasan  :
Sebagai komponen yang penting/jantungnya pendidikan maka guru dituntut memiliki karakteristik yaitu guru yang memegang teguh sandi-sandi ketuhanan, karena dengan menyadari keberadaan Allah SWT secara tidak langsung seorang guru akan merasa berada di dalam pengawan yang kuasa sehingga akan memiliki tanggungjawab yang senantiasa dijalankan dengan sepenuh hati dan penuh dengan keikhlasan.

            Beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh guru PKn seperti yang telah dipaparkan diatas, harus benar-benar dilakukan dengan sifat yang ikhlas, karena pada dasarnya segala sesuatu yang dilakukan dengan rasa yang ikhlas niscaya hasilnya juga baik pula. Berkaitan dengan karakteristik yang diungkapkan diatas, seorang guru juga harus menyalurkan materi-materi pendukung agar proses pembelajaran dapat membentuk moralitas yang baik, materi-materi yang dimaksud diatas merupakan nilai-nilai karakter bangsa yang senantiaasa harus ditanamkan. Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang perlu ditransformasi- kan kepada siswa didik sedini mungkin disarikan dari beberapa sumber bacaan, antara lain:
1.      Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Jujur yaitu memiliki sikap dan sifat yang luhur sebagai warga negara dan merupakan suatu keniscayaan. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara dengan negara, memiliki misi dalam mengentaskan kemiskinan dan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama ;
3.      Adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tujuan yang baik tidak akan diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil.
4.      Rasa hormat dan tanggung jawab terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan/agama, dan ideologi politik (komitmen bersatu),turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas dasar pluralitas tersebut (Bhineka Tunggal Ika);
5.      Sikap kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun terhadap kenyataan supra empiris atau metafisik (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri.
6.      Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap pemahaman terhadap pendapat yang berbeda;
7.      Sikap terbuka didasarkan atas kesadaran akan pluralis- me dan keterbatasan diri yang akan melahirkan kemam- puan dalam  menahan diri, tidak secepatnya menjatuh- kan penilaian atau pilihan;
8.      Rasional yaitu memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan secara bebas dan logis.Ini merupakan hal yang harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang di-ambil secara rasional akan melahirkan sikap yang tegas dan pemikiran yang logis.
9.      Cerdas dan arif yakni memiliki Inteligensi jamak. Inteligensi merupakan kemampuan untuk memecahkan persoalan dan dapat menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Intelegensi seseorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam kehidupan yang nyata secara cerdas dan bijak (arif).
            Nilai-nilai karakter bangsa yang dipaparkan di atas didukung oleh Michele Borba (2008) dengan menggunakan istilah kecerdasan moral dan karakter. Tujuh kebajikan utama dalam membangun kecerdasan moral dan karakter bangsa yang kuat: (1) empati: memahami dan merasakan kesedihan/ penderitaan orang lain; (2) nurani: merasakan dan menerapkan cara berprilaku yang manusiawi; (3) kontrol diri: mengendalikan pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan dari dalam atau mencegah dorongan dari luar sehingga dapat bertindak benar; (4) rasa hormat: menghargai orang lain dengan berlaku baik dan sopan; (5) kebaikan hati: menunjukkan kepedulian terhadap kehidupan dan perasaan orang lain; (6) toleransi: menghormati martabat dan menghargai hak semua orang meskipun keyakinan berbeda antara satu dan yang lain; dan (7) keadilan: berpikir terbuka, tidak berat sebelah, bertindak adil/ berpihak pada yang benar.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang diungkapkan dalam pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut  :
   ·            Sistem Koordinasi merupakan suatu system yang bertujuan untuk mengusahakan tercapainya suatu keseragaman tindakan penyelamatan bibit bangsa dari kemerosotan moral melalui kajian pendidikan dengan melakukan hubungan yang sinergi diantara para pendidik di wilayah domisilinya. System ini dirasa tepat jika diterapkan oleh para pendidik atau guru yang mengampu mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan (PKn), karena seorang guru PKn dalam masa pendidikannya telah dibekali dengan ilmu-ilmu moral serta etika sehingga ketika guru PKn itu telah terjun dalam tatap muka pengajaran, guru PKn tersebut sangat berpotensi menanamkan ajaran-ajaran moral yang dibutuhkan ditengah kesemrawutan bangsa.
   ·            kriteria guru PKn sebagai berikut yang dinilai mampu membentuk moran bangsa yaitu : Seorang guru harus memiliki sifat Nasionalisme dan mampu  membangun moral siswa dengan penanaman Nasionalisme, Seorang guru harus berkarakter kuat contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang yang tinggi, atau pantang menyerah, Seorang guru harus bisa menginspirasi peserta didiknya, Seorang guru harus memiliki integritas tinggi dalam mendidik, Seorang guru/calon guru PKn harus memiliki landasan batin berdasarkan ketuhanan (memiliki ketaqwaan).

B.     Saran
            Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan permasalahan moral diatas adalah pemerintah seharusnya tetap mendukung terselenggaranya system koordinasi diantara para guru PKn serta menyediakan dukungan pemikiran dan moril agar para pendidik bangsa ini tetap bisa menginspirasi peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. “karakter guru PKn teladan di Indonesia”. (online),             (http://google.com/2010/07/16/Guru-berkarakter.html), diakses 2 Juni        2012.
Hidayatullah, M. Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.

Mudyaharjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja grafindo Persada.

Muslich, masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik.            Malang: Bumi Aksara.

Sagala, Ayaiful. 2009. Kemampuan Profosionalitas Guru dan Tenaga          Kependidikan. Bandung: Alfabeta.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:       Pustaka Sinar Harapan.

Uno, Hamzah B. 2007. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wibowo, Agus. 2007. Malpraktik pendidikan. Yogyakarta: Genta Press.

Azhar, Syafruddin.2002. Penyadaran Pentingnya Nasuonalisme. http://www.         polarhome.com. Diakses 2 Juni 2012.

Alia, Syaifuddin dan Nuha, Ulin. Pendidikan Saat krisis Nasionalisme. Dalam       Suara merdeka 2 Juni 2012.
Anonim. 2010. “karakter guru PKn teladan di Indonesia”. (online),             (http://google.com/2010/07/16/Guru-berkarakter.html), diakses 2 Juni        2012.


Posted by Unknown On 04.45

INTENSIFITAS PENINGKATAN KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SUKOHARJO MELALUI PEMAKSIMALAN PROGRAM SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK KPU SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS


Tugas ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Demokrasi dan Pemilu
Yang diampu oleh  :
Oleh :
Dedy Ari Nugroho
K6410014

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

KATA PENGANTAR

            Bismllahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Wr. Wb
            Alhamdulillah, segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan Rahmad, Hidayah, serta Inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah ini dengan judul “INTENSIFITAS PENINGKATAN KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) KABUPATEN SUKOHARJO MELALUI PEMAKSIMALAN PROGRAM SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS”.
            Penyusunan karya Ilmiah ini bertujuan guna memenuhi tugas mata kuliah Demokrasi dan pemilu, yang merupakan salah satu mata kuliah yang diikuti mahasiswa semester 4, meskipun mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang terdapat pada semester 6, namun guna memenuhi SKS yang ada mata kuliah ini juga diikuti oleh semua mahasiswa semester 4 prodi PPKn. Dalam penyusunan makalah ini penulis mengalami beberapa kesulitan, namun berkat bantuan dari pihak-pihak terkait, makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar. Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada ayah dan bunda yang senantiasa melantunkan doanya untuk penulis dan kepada Bapak Muh. Muhtarom, S.Ag, M.Si, yang telah memberikan materi-materi yang berkaitan dengan studi demokrasi dan pemilu.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sebuah kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis ingin menyampaikan, semoga makalah bermanfaat bagi semua pihak.
            Wassalamualaikum Wr. Wb
                                                                                    Surakarta,  Juni 2012          
                                                         Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah................................................................................ 4
C.  Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
D. Manfaat Penulisan................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 5
A.    Penerapan sistem sosialisasi dan penegakkan kode etik KPUD sukoharjo sebagai upaya meningkatkan kadar demokrasi masyarakat    ……………………………………………………….5
B. Kriteria pemilihan umum yang demokratis........................................... 9

BAB III  PENUTUP............................................................................................ 12
A.    Kesimpulan...................................................................................... 12
B.     Saran................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

            Pemilu sebagai salah satu aktifitas masyarakat suatu bangsa yang menganut system demokrasi, merupakan suatu pencitraan dari pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Pemilu sebagai suatu instrumen dalam berdemokrasi di Indonesia, dalam penyelenggaraannya harus senantiasa didasarkan pada asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil sebagai konsekuensi atas terwujudnya suatu negara yang demokratis. Asas-asas tersebut juga merupakan bukti dilakukannya reformasi konstitusi (reformasi konstitusi  merupakan bagian dari law reform), yang telah mengubah sistem ketatanegaraan di Indonesia secara mendasar, termasuk dalam bidang penyelenggaraan pemilu. Keberadaan pemilu sebagai wujud dari demokrasi dari beberapa praktiknya mampu menimbulkan suatu harapan baru bagi rakyat karena sejak adanya pemilu aspirasi rakyat dapat dipertimbangkan sebagai suatu pembentuk keputusan mutlak kaitannya dengan pemilihan para pemimpin bangsa.

             Dalam perjalanan demokrasi Indonesia selalu saja ada beberapa masalah pelik dan polemic yang berkembang di masyarakat mengenai kejanggalan, keabsurban, dan permasalah kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan permasalahan kontemplasi yang harus segera diakhiri dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah pemaksimalan kinerja KPU sebagai salah satu lembaga independen yang dibentuk sebagai wadah perencanaan dan pelaksanaan pemilu yang nantinya akan diselenggarakan. Pemaksimalan kinerja ini harus segera dilakukan mengingat permasalahan pemilu merupakan permasalahan rakyat dimana secara tidak langsung akan menciderai hati rakyat yang telah berupaya menyalurkan suaranya melalui secarik kertas yang dampaknya bisa sangat luar biasa bahkan menentukan pelaksanaan pemerintahan hingga 5 tahun ke depan. Pemaksimalan kinerja KPU tersebut dapat dicapai dengan menggunakan metode sosialisasi yang dilakukan terhadap warga masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut system sosialisasi dapat memunculkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara warga masyarakat dengan pemerintah (KPU) dan sebaliknya. Pihak KPU dalam melaksanaakan intensifitas sosialisasi mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan atau program-program yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, maka KPU dapat mengukur sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat dan tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan apabila di temukan permasalahan dari suatu masyarakat. Begitu pula sebaliknya masyarakat dapat mengetahui kebijakan ataupu segala hal yang berkaitan dengan masalah pemilihan umum, dan secara tidak langsung dengan adanya sosialisasi yang dilakukan pihak KPU maka masyarakat menjadi gamblang dan memperoleh kesadaran betapa pentingnya suara mereka dalam suatu pemilihan umum.

            Perhatian pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan di tingkat tingkat pusat saja namun KPU pusat juga berlu berkomitmen untuk mengadakan koordinasi secara terstruktur kepada KPUD yang berada di masing-masing daerah. Seperti yang dilakukan oleh Kabupaten Sukoharjo, kabupaten yang satu ini melakukan sosialisasi secara terstruktur kepada masyarakat-masyarakatnya sehingga dapat dikatakan angka golput di kabupaten Sukoharjo dapat dikatakan rendah. Namun yang menjadi kendala saat ini adalah sosialisasi hanya dilakukan di kelurahan-kelurahan saja dan pada umumnya yang di undang hanya masyarakat-masyarakat yang dianggap berpengaruh seperti RT atau Ketua RW, tetapi yang menjadi masalah saat ini adalah banyak dari para ketua RT atau RW tersebut yang tidak mempergunakan amanaahnya dengan baik, atau tidak secara langsung menyampaikannya kepada warga masyarakat sehingga masyarakat umum atau masyarakat yang ada di daerah yang terbatas akses informasinya menjadi terbatasi. Hal inilah yang perlu menjadi program lanjutan dari kabupaten Sukoharjo, bahwa adanya sosialisasi menyeluru dengan melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat itu harus dilakukan agar informasinya merata di segala penjuru daerah kabupaten Sukoharjo. 
            Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum Kabupaten Sukoharjo kedepan, image KPUD Sukoharjo harus diubah sehingga KPUD dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu Kabupaten Sukoharjo yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU/KPUD, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU/KPUD juga membuat KPU/KPUD lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak manapun. Dalam rangka mewujudkan KPU yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Maka dari itu penulis merasa perlu mengkaji lebih dalam mengenai pelaksanaan pemilu di kabupaten Sukoharjo, sehingga dalam makalah ini penulis mengambil judul, INTENSIFITAS PENINGKATAN KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) KABUPATEN SUKOHARJO MELALUI PEMAKSIMALAN PROGRAM SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS”.
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan data serta penjelasan yang telah diungkapkan dalam latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat memberikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut  :
a.       Bagaimanakah penerapan sistem sosialisasi dan penegakkan kode etik KPUD Kabupaten Sukoharjo dapat diterapkan sebagai upaya meningkatkan kadar demokrasi masyarakat ?
b.      Bagaimanakah kriteria pemilihan umum yang demokratis sebagai pencitraan dari kredibilitas Komisi Pemilihan Umum ?

C.    Tujuan Penulisan
            Sehubungan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka penulis memiliki tujuan dari penulisan makalah ini, tujuan yang dimaksud adalah :
a.       Mengetahui seluk-beluk penerapan sistem koordinasi dalam KPU dapat diterapkan sebagai upaya meningkatkan kadar demokrasi masyarakat.
b.      Menganalisis Kriteria pemilihan umum yang dinilai demokratis sebagai pencitraan dari kredibilitas Komisi Pemilihan Umum.

D.    Manfaat Penulisan
            Manfaat dari penulisan makalah ini, selain sebagai salah satu komponen pemenuhan tugas dari Mata Kuliah Demokrasi dan pemilu, namun penulisan makalah ini juga diharapkan berguna bagi semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah sebagai berikut  :
a.       Manfaat bagi penulis, penulisan makalah ini merupakan sebuah kesempatan bagi penulis untuk mencari dan menguak beberapa pengetahuan mengenai beberapa system yang dapat dilakukan oleh pihak KPUD Kabupaten Sukoharjo dalam menyelenggarakan pemilu yang bersih dan demokratis.
b.       Bagi pembaca sebagai referensi dalam membentuk pribadi yang sadar akan pentingnya berpartisipasi dalam pemilu, sehingga mampu menekan angka golput dan meningkatkan kadar demokrasi masyarakat di Kabupaten Sukoharjo.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENERAPAN SISTEM SOSIALISASI DAN PENEGAKKAN KODE ETIK KPUD SUKOHARJO SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KADAR DEMOKRASI MASYARAKAT

            Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia, yakni meliputi Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan perwujudan dari demokrasi. Penyelenggaraan pemilu tidak pernah bisa terlepas dari warga negara, karena hal itu merupakan hak konstitusional warga negara baik untuk memilih maupun dipilih. Lebih lanjut, pemilihan umum diselenggarakan atas dasar manifestasi prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equal opportunity principle).

            Dalam bidang penyelenggaraan pemilu, dilakukan oleh KPU atau KPUD. Secara normatif, eksistensi KPU untuk menyelenggarakan pemilu diatur di dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu oleh suatu komisi pemilihan umum. Kata suatu pada UUD 1945 menunjukkan makna subjek yang kabur dan tidak jelas, lain halnya dengan makna kata sebuah yang disebutkan pada kekuasaan kehakiman oleh sebuah MA dan MK. Di samping itu, eksistensi KPU merupakan suatu komisi negara. Posisi komisi negara secara hierarki sebagai lembaga penunjang atas lembaga negara utama seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK dan BPK. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, KPU berperan sebagai saluran untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Pengaturan pemilu ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. Pemilu merupakan suatu instrumen demokrasi yang sangat penting, mengingat pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat tersalurkan untuk lima tahun sekali untuk memilih wakil dan pemimpin rakyat. Pemilu merupakan titik awal terbentuknya suatu pemerintahan negara dalam upaya mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi sehingga tercapainya kesejahteaan rakyat. Selain itu KPU juga berperan dan berwenang dalam KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut : yaitu, merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum; membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS; menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II; mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum; memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
           
            Dengan adanya penjelasan mengenai tugas dan kewenangan KPU di atas, maka sebenarnya kita dapat melakukan analisis dari evaluasi pelaksanaan pemilu yang selama ini berlangsung. KPU dalam mengkoordinasi kegiatan pemilihan umum mulai dari tingkat pusat sampai pada tempat pemungutan suara tentu saja diperlukan suatu system sosialisasi yang memadai sebagai salah satu upaya dalam mempermudah koordinasi yang dilakukan. Koordinasi ini dapat dilakukannya dengan mengadakan hubungan-hubungan dengan KPUD-KPUD yang tersebar di berbagai daerah untuk mem- back up pelaksanaan pemilu di masing- masing daerah. KPUD inilah yang diharapkan lebih intensif dalam melakukan koordinasi serta sosialisasi kepada masyarakat dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan. Salah satu kabupaten yang telah melaksanakan system sosialisasi adalah Kabupaten Sukoharjo, namun kabupaten sukoharjo dalam beberapa pelaksanaan sosialisasinya dinilai oleh masyarakat kurang menyeluruh ke daerah-daerah yang pinggir. Sebagian besar dari penerapan sosialisasinya hanya dilakukan di tingkat kelurahan-kelurahan dengan undangan yang terbatas, sehingga informasi yang di dapatkan oleh masyarakat umum sering kali kurang menyeluruh.

            Sistem sosialisasi dalam hal ini merupakan suatu cara yang dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai suatu hal dalam konteks kebijakan pelaksanaan pemilihan umum dari pihak KPU/KPUD kepada masyarakat umum melalui pendekatan-pendekatan tertentu serta mengandung kata-kata persuasive kepada masyarakat. Sosialisasi pada umumnya merupakan suatu tindakan yang lazim dilakukan oleh pemerintah dalam mengenalkan cara melakukan pemilihan calon legislatif bagaimana seluk-beluknya serta memberikan penerangan mengenai pentingnya suara masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka. Namun, dari beberapa kasus yang ada sosialisasi nyatanya menjadi instrument yang fundamen, hal ini dikarenakan melalui sosialisasi masyarakat tidak buta kebijakan, bahkan bisa di bilang bahwa meningkatnya kasus masyarakat yang golput adalah buah dari minimnya sosialisasi yang dilakukan, sehingga secara garis besar minimnya sosialisasi menjadikan masyarakat umum tidak mengetahui hakikat pemilu bagi kehidupan mereka. Tidak hanya itu, masyarakat sekarang ini cenderung memilih calon atau partai yang memberikan penawaran lebih nyata berupa uang tunai bayar dimuka dengan ketentuan memilih partai atau calon terkait, atau dalam kesehariannya disebut money politik. Beberapa kasus tersebut merupakan suatu persoalan yang kini kerap mengiringi eksistensi pemilu di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Sukoharjo, dengan adanya kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya berfikir instan dan cenderung tidak mempedulikan kehidupan mereka lima tahun kedepan, maka dari itu intensifitas system sosialisasi harus benar-benar digalakkan karena walaupun system ini merupakan system sederhana dan dasar tetapi melalui sosialisasi sebenarnya dasar-dasar hakikat pemilu itu mulai ditanamkan, jika sosialisasi lemah maka kesadaran politik dan partisipasi politik lemah namun jika sosialisasi intensif dilakukan maka kesadaran politik akan senantiasa tertanam dan partisipasinya sudah barang tentu akan meningkat. Sehingga dengan adanya system sosialisasi secara menyeluruh baik di daerah-daerah yang mudah dijangkau sampai daerah-daerah terpencil di Kabupaten Sukoharjo perlu segera di galakkan, sehingga secara tidak langsung pengetahuan masyarakat mengenai seluk-beluk pemilu akan meningkat dan diharapkan dengan system tersebut partisipasi masyarakat meningkat dan segala sesuatunya berjalan secara demokratis.

            Di era yang semakin modern ini Sistem sosialisasi tidak hanya dapat dilakukan melalui tatap muka langsung. Tetapi pihak KPU/KPUD kabupaten Sukoharjo juga dapat memanfaatkan keadaan yang serba tersedia ini, misalnya dengan internet untuk membuat situs atau Website yang menyediakan informasi-informasi mengenai kebijakan pelaksanaan pemilu yang akan dilaksanakan. Hal ini juga akan sangat berperan terutama bagi para masyarakat dengan kesibukan kariernya, dan tidak bisa meluangkan waktunya untuk mengikuti sosialisasi langsung dapat membuka website pada waktu-waktu senggangnya.

            KPU/KPUD dalam menjalankan tugasnya haruslah di atur atau dibatasi tingkah polahnya melalui suatu atauran yang tergabung dalam bentuk Kode Etik KPU yang berisi aturan-aturan yang harus ditaati oleh KPU itu sendiri. Latar belakang perlunya kode etik dalam tubuh KPU yaitu karena tidak sedikit kasus-kasus yang menciderai komisi ini baik adanya kasus korupsi maupun kasus suap yang sering kali menjadi perbincangan hangat di sebagian besar media masa. Kode etik yang sudah dibentuk akan terlihat eksistensinya pada saat aturan itu ditegakkan bagi para pegawainya, terikatnya para pegawai KPU/KPUD menunjukkan bahwa KPU tersebut memiliki aturan main bagi para pegawainya agar tidak sewenang-wenang melakukan tindakan yang dapat mencoreng citra KPU/KPUD di mata Masyarakat. Sehingga dapat dirumuskan bahwa dalam rangka mewujudkan KPU yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, maka dari itu seluruh Kode Etik Penyelenggara Pemilu harus digalakkan.
B.     KRITERIA PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS SEBAGAI PENCITRAAN DARI KREDIBILITAS KOMISI PEMILIHAN UMUM

            Sejak awal pertumbuhannya, ide dasar demokrasi sejatinya merupakan sarana penghormatan terhadap martabat kemanusiaan (human dignity).  Demokrasi diharapkan mampu menjadi instrumen dalam memelihara nilai-nilai peradaban kemanusiaan, terutama agar transisi kekuasaan dan proses penyelenggaraan pemerintahan dapat dikelola secara baik. Indikator paling menonjol dalam sebuah masyarakat demokratis adalah digelarnya sebuah pemilihan umum (pemilu) yang jujur, bersih, adil, terbuka dan berkeadaban. Penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang kuat di mata publik. Kekuasaan akan mudah goyah bila kemenangan dalam pemilu diraih dengan cara-cara yang tidak demokratis. Legitimasinya lemah, rentan konflik, dan memicu prahara sosial. Pemilu yang berlangsung secara tidak demokratis juga akan melahirkan konflik horizontal dan merusak kohesi sosial yang dalam jangka panjang akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Secara substantif, pemilu akan berlangsung secara demokratis bila mampu menyediakan ruang publik (public sphere) yang seluas-luasnya bagi segenap rakyat dalam mewujudkan kedaulatannya. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus bisa mengartikulasikan aspirasi, kehendak dan kepentingannya secara merdeka.        

            Rakyat harus bebas memanfaatkan ruang publiknya dengan menentukan calon pemimpinnya sendiri baik yang akan mengisi kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Secara prosedural, tahapantahapan pemilu yang dilakukan bisa menjelmakan hak-hak substantif rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan dengan konsisten memegang teguh prinsipprinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan.Kendati perlu dihindari proses-proses politik yang dilalui tidak terjebak pada demokrasi prosedural, yang justru menutupi esensi dan substansi demokrasi itu sendiri. Secara institusional,penyelenggara pemilu harus benarbenar independen, imparsial dan profesional. Tanpa keberadaan penyelenggara pemilu yang berkualitas, demokrasi tidak akan tumbuh secara baik. Kualitas demokrasi amat sangat ditentukan oleh hadirnya pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak elite politik tertentu. Karena itu, upaya-upaya sistematis yang berusaha mencederai proses penyelenggaraan pemilu terutama dalam proses penghitungan suara harus diantisipasi dan dicegah.

            gagasan mengenai Kriteria Pemilu Demokratis sebenarnaya mulai digalakkan sejak awal keberlangsungan pemilu di Indonesia, gagasan mengenai cirri pemilu yang demokratis dapat ditinjau dari pendapat beberapa ahli, beberapa diantaranya adalah  Austin Ranney (1982) merumuskan delapan kriteria pokok sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pertama, adanya hak pilih umum (aktif maupun pasif). Dalam pemilu eksekutif ataupun pemilu legislatif, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam ruang publik (public sphere) untuk memilih dan dipilih.Kedua, kesetaraan bobot suara: tidak ada seseorang atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan bobot suara yang berbeda dengan yang lainnya.Ketiga, tersedianya pilihan kandidat dari latar belakang ideologis yang berbeda. Keempat, lahirnya kebebasan nominasi bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.Kelima,persamaan hak kampanye.Semua calon diberi kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye. Keenam, kebebasan warga negara dalam memberikan suara tanpa tekanan dan diskriminasi. Ketujuh, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.Kedelapan, penyelenggaraan pemilu secara periodik. Dalam konteks Indonesia, kriteria yang dirumuskan Ranney tersebut sebagian besar sudah terpenuhi. Kecuali yang masih rawan dicederai adalah kriteria ketujuh, yaitu kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara. Selama penyelenggara pemilu tidak mencerminkan sikap independensi, imparsialitas dan profesionalismenya,maka kerawanan dalam proses penghitungan suara akan selalu terjadi. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan akan menyeruak. Situasi demikian akan menjadi pemantik konflik antar individu dan kelompok di masyarakat dan menguras energi bangsa.

            Karena itu, penyelenggara pemilu mesti memahami betul spirit amanat UUD 1945 Bab VII B Pasal 22E ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini menuntut komisioner yang memiliki rekam jejak yang clean and clear sehingga segala keputusannya tidak berpihak (impartial),sah (legitimated) dan dipercaya (credible).  Menurut Wall et al (2005), penyelenggara pemilu mesti memenuhi prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak), integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil (civil society) yang kritis, cerdas, rasional, dan bertanggung jawab menjadi percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip keadilan dan fairness dalam setiap proses tahapan pemilu.         

            Berdasarkan data diatas beberapa karakteristik pemilu yang demokratis telah dipaparkan oleh beberapa ahli, dan berkaitan dengan hal tersebut dapat kita analisis bahwa beberapa diantaranya telah dilaksanakan dan tersarikan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Konsep pemilu yang demokratis pada hakikatnya merupakan suatu konsep yang normative, dimana peran serta masyarakat dengan segala hak konstitusionalnya dalam memberikan suaranya menjadi hal yang fundamen dalam penentuan kepemimpinan suatu Negara. Konsep pemilu yang demokratis dapat diterapkan secara optimal apabila ada aksen-aksen penekanan kepada warga masyarakat secara intensif, hal ini mengingat Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku atau etnisitas yang memungkinkan adanya perbedaan sikap dan pembawaan. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut penerapan system pemilu yang selama ini dilakukan Indonesia harus benar-benar diperbaiki, dimana didalamnya harus mampu mewujudkan insane-insan pemerintahan yang accountable atau bertanggungjawab sehingga pribadi-pribadi pemerintah (KPU) yang terbentengi dari sikap korup dan suap yang semakin lama semakin menggerus moral bangsa.        
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dari beberapa penjelasan dari makalah diatas, maka dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan isi dari penjelasan makalah ini, kesimpulan yang dimaksud adalah  :           
·            Sistem sosialisasi dalam hal ini merupakan suatu cara yang dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai suatu hal dalam konteks kebijakan pelaksanaan pemilihan umum dari pihak KPU/KPUD kepada masyarakat umum melalui pendekatan-pendekatan tertentu serta mengandung kata-kata persuasif kepada masyarakat.    
·            Intensifitas system sosialisasi harus benar-benar digalakkan karena walaupun system ini merupakan system sederhana dan dasar tetapi melalui sosialisasi sebenarnya dasar-dasar hakikat pemilu itu mulai ditanamkan, jika sosialisasi lemah maka kesadaran politik dan partisipasi politik lemah namun jika sosialisasi intensif dilakukan maka kesadaran politik akan senantiasa tertanam dan partisipasinya sudah barang tentu akan meningkat.       
·            Dalam rangka mewujudkan KPU yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, maka dari itu seluruh Kode Etik Penyelenggara Pemilu harus digalakkan.
·            Penyelenggara pemilu mesti memenuhi karakteristik atau prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak), integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil (civil society) yang kritis, cerdas, rasional, dan bertanggung jawab menjadi percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip.


B.     Saran
            Saran yang dapat penulis berikan, berkaitan dengan penjelasan mengenai Intensifitas Peningkatan Kredibilitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Kpud) Kabupaten Sukoharjo Melalui Pemaksimalan Program Sosialisasi Dan Penegakkan Kode Etik Sebagai Upaya Mewujudkan Pemilu Yang Demokratis”.
Diatas, maka saran yang dapat diberikan adalah        :
a.       Pemerintah perlu memperhatikan aksen-aksen dasar seperti sosialisasi dan melaksanakannya secara intensif, agar masyarakat tidak buta informasi.
b.      Penegakkan kode etik harus benar-benar di tegakkan bagi para pegawa atau pejabat KPU agar kasus-kasus seperti korupsi, suap dan lain sebagainya tidak mewarnai citra KPU.    
c.       Pemerintah harus memperhatikan evaluasi dari masyarakat umum demi perbaikan pemilu kedepan.    
d.      Masyarakat seharusnya membentengi diri dengan informasi-informasi kebijakan pemilu dan menolak money politi, meskipun dalam keadaan terdesak.















DAFTAR PUSTAKA



A.    Rasiyd, Fauzan. 2012. “Mewujudkan pemilu yang demokratis”.   (online).        (Http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/fauzan-ali-rasiyd.html), diakses 10 Juni 2012.

Anonim. 2010. “Pelaksanaan pemilu Kabupaten Sukoharjo”. (online),        (http://google.com/2010/07/16/pemilihan-umum-kab.Sukoharjo.html),  diakses 10Juni 2012.

Anonim. 2009. “system pembaharuan untuk pemilu kedepan”. (online),       (http://google.com/ 811-seminar-pemilu-dan-demokrasi_files.html),     diakses 10 Juni 2012.

Anonim. 2004. “menyongsong pemilu yang demokratis”. (online),   (http://google.com/2004/a#5457/ Menuju Pemilu Demokratis « Gagasan            Hukum_files.html),     diakses 10Juni 2012.

Arul, Muhammad. 2009. “peran KPU dalam proses sosialisasi kebijakan”.             (online), (http://google.com/ Membangun Independensi KPU « Arul         Muhammad_files.html), diakses 10 Juni 2012.

Anonim. 2010. “sistem sosialisasi sebagai system fundamental penanaman             pengetahuan pemilu”. (online), (http://google.com/7612267#t543/      sosialisasi-pemilu –perlu-digalakkan.html), diakses 10Juni 2012.