ANALISIS
HUKUM INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN VONIS MATI PRESIDEN IRAK
(SADDAM
HUSEIN)
Disusun untuk
melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional
Yang diampu oleh : Drs.
Machmud AR, S.H, M.Si
Oleh :
Dedy
Ari Nugroho
(K6410014)
PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
Ø Pernyataan :
Presiden Irak Saddam Husein yang ditangkap
tentara Amerika Serikat (sekutu) dan kemudian diadili di
Baghdad karena dianggap melanggar Hukum Internasional dan kemudian di vonis
hukuman MATI. Menggambarkan praktik Hukum Internasional.
1.
Soal :
Bagaimana kedudukan Hukum Nasional Irak
terhadap Hukum Internasional ?
Jawab :
Kedudukan
hukum nasional irak terhadap hukum internasional terkait dengan vonis mati yang
dijatuhkan kepada pemimpin Negara pada saat itu Saddam Hussein :
Tidak lagi dapat disangkal bahwa keberadaan hukum internasional dalam
lingkup lingkungan internasional, merupakan hukum yang kokoh dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan adanya
hukum nasional, pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang didasarkan pada
teori-teori dalam hukum internasional. Dalam paham Monisme primat hukum
internasional misalnya, didalam teori ini dikemukakan bahwa hukum
nasional bersumber pada hukum internasional yang merupakan perangkat ketentuan
hukum yang hierarkinya lebih tinggi, sehingga dalam kata lain keberadaan hukum
internasional dapat menjadi dasar dan acuan kebijakan yang akan diterapkan
dalam pembentukan hukum nasional, sehingga dalam hal ini terdapat keterkaitan
antara hukum nasional dan hukum internasional. Keberadaan hukum nasional sudah
barang tentu juga harus di dasarkan pada kultur dan kepribadian suatu bangsa,
sehingga keberadaan hukum nasional dapat sinkron dengan keberadaan hukum
internasional tetapi tetap mempertahankan kultur yang ada. Dengan diketahuinya
kedudukan hukum nasional terhadap hukum internasional yang didasarkan pada
paham monisme primat hukum internasional yang telah dikemukakan diatas, maka
vonis mati yang dijatuhkan kepada presiden irak pada saat itu (Saddam Husen),
merupakan suatu tindakan yang dibenarkan berdasarkan dasar-dasar yang ada. Pada
dasarnya Saddam Husein merupakan subyek hukum internasional dengan sederet
catatan suram terutama kejahatan yang dilakukannya dalam bidang kemanusiaannya
pada massa kekuasaannya. Saddam Husein menjalankan mesin kekuasaannya dengan
tangan besi. Semua pihak yang berseberangan dengannya dimusnahkan. Semua orang
yang bersilangan dengan kehendaknya juga harus dikirim ke akhirat tanpa
persiapan, dengan cara yang sangat keji. Sang menantu dan ipar serta sepupu pun
bukan tidak lepas dari aksi kekejiannya. Tidak hanya itu sederet catatan
suramnya mngenai perebutan batas territorial Negara juga banyak dilakukan salah
satunya adalah Saddam Husein telah menginvasi Kuwait dengan
alasan yaitu territorial. Saddam
menganggap bahwa Kuwait secara historis adalah bagian dari Irak. Dengan
beberapa kasus yang dilakukannya mengakibadkan PBB dan Negara-negara berdaulat
(terutama Negara adikuasa seperti Amerika Serikat) melakukan tindakan yang
berdampak pada penangkapan saddam Husein pada Desember 2003, dan Saddam dijatuhi hukuman mati atas dakwaan pembunuhan 148 warga
Syiah pada tahun 1982.
Dengan kenyataan seperti itu, perbuatan Saddam masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Dalam pandangan hukum internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya dengan penjahat perang dan genosida. Tiga kategori perbuatan yang dinilai telah melampaui batas-batas wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika seseorang melakukan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi terlindungi oleh kedaulatan mana pun, sebab kejahatannya telah berubah menjadi kejahatan internasional. Sehingga hal tersebut memberikan kesempatan kepada pihak internasional untuk dapat menegakkan hukum internasional yang berlaku terutama menghukum pihak-pihak yang melakukan kejahatan kemanusiaan seperti yang di lakukan Saddam Husein yang dinilai banyak merugikan masyarakat Internasional.
Dengan tinjauan kasus diatas maka terlihat jelas bahwa kedudukan hukum internasional lebih tinggi jika dibandingkan dengan hukum nasional, dengan sederet kejahatan teritorial maupun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan, telah menjadikan kejahatannya itu sebagai kejahatan internasional sekaligus sebagai subyek hukum internasional yang harus mempertanggungjawabkan sederet kejahatan yang dilakukan. Berdasarkan analisis kedudukan hukum internasional dapat pula dijadikan acuan bagi masyarakat umum bahwa tegaknya hukum internasional juga harus senantiasa didukung dengan tegaknya hukum nasional yang berlaku.
Dengan kenyataan seperti itu, perbuatan Saddam masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Dalam pandangan hukum internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya dengan penjahat perang dan genosida. Tiga kategori perbuatan yang dinilai telah melampaui batas-batas wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika seseorang melakukan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi terlindungi oleh kedaulatan mana pun, sebab kejahatannya telah berubah menjadi kejahatan internasional. Sehingga hal tersebut memberikan kesempatan kepada pihak internasional untuk dapat menegakkan hukum internasional yang berlaku terutama menghukum pihak-pihak yang melakukan kejahatan kemanusiaan seperti yang di lakukan Saddam Husein yang dinilai banyak merugikan masyarakat Internasional.
Dengan tinjauan kasus diatas maka terlihat jelas bahwa kedudukan hukum internasional lebih tinggi jika dibandingkan dengan hukum nasional, dengan sederet kejahatan teritorial maupun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan, telah menjadikan kejahatannya itu sebagai kejahatan internasional sekaligus sebagai subyek hukum internasional yang harus mempertanggungjawabkan sederet kejahatan yang dilakukan. Berdasarkan analisis kedudukan hukum internasional dapat pula dijadikan acuan bagi masyarakat umum bahwa tegaknya hukum internasional juga harus senantiasa didukung dengan tegaknya hukum nasional yang berlaku.
2.
Soal :
Mengapa yang harus bertanggung jawab pribadi Saddam
Husein ? Kenapa bukan Negara yang disebut sebagai subyek hukum ?
Jawab :
Sederet tindakan criminal yang dilakukan oleh Saddam Husein merupkan
tindakan yang dihasilkan dari tangan besi kediktatoran individu, artinya memang
kebijakan-kebijakan yang dibuat serta perintah-perintah yang didelegasikan
Saddam Husein kepada para tentara atau pejabat-pejabatnya merupakan perintah
sekaligus mandat dari seorang saddam husein, selain itu tindakan-tindakan
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh saddam husein seperti membunuh belasan pejabat yg dianggap menentangnya. Untuk menjaga keamanan dalam
negeri ia membentuk polisi rahasia ala Stalin dan mengendalikan Tentara rakyat
untuk menghadapi kudeta dari angkatan bersenjata.Masih ada juga Departemen
Intelijen Jendral (Mukhabarat) satuan yg paling ditakuti. Tak pandang bulu, dua menantunya dihabisi oleh satuan ini karena dianggap membelot. Kesewenangan Saddam Husein dalam
menghilangkan nyawa orang lain merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak
pantas di lakukan oleh seorang kepala Negara/presiden yang berdaulat. Maka
tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan oleh Saddam Husein tersebut
merupakan tindakan yang dapat menghasilkan ganjaran berdasarkan hukum internasional (crimes under
international law) maka secara otomatis Saddam Husein tidak dapat menghindarkan
diri dari pertanggungjawabannya berdasarkan hukum internasional meskipun dengan
berlindung dibalik jabatannya maupun negaranya, dia tetap dapat dimintakan
pertanggungjawaban menurut hukum internasional dihadapan badan peradilan pidana
internasional, dengan alasan ia sebagai individu yang melakukan kejahatan
tersebut meskipun dengan mengatasnamakan jabatan atau negaranya. Dalam hal ini
kejahatan-kejahatan kemanusiaan atau perebutan batas wilayah (teritorial) yang
dilancarkan oleh Saddam Husein nyatanya telah mengundang polemic internasional
yang pada akhirnya mengubah status seorang Saddam Husein menjadi subyek
internasional untuk kemudian dijadikan target pencarian dan penangkapan
sehingga berbuah vonis mati baginya.
Berdasarkan
analisis kasus tersebut masyarakat irak tidak dimintakan tanggung jawab, karena
kejahatan yang dilakukan didasarkan pada kehendak atau otoritas seorang Saddam
Husein secara individu sehingga walaupun ia berdalih demi kepentingan Negara
sekalipun pertanggungjawaban diri secara individu harus tetap dilakukan oleh
Saddam Husein. Salah satu doktrin klasik hukum
internasional yang bisa dipakai untuk kasus Saddam Hussein ini adalah peremptory
norm (norma dasar). Doktrin ini menegaskan bahwa siapa pun yang melanggar
norma dasar ini, ia bisa saja ditangkap, diadili, dan ditahan oleh siapa pun
dan kapan pun. Norma dasar yang dimaksud adalah norma-norma yang melindungi
harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itu, perbuatan kejahatan kemanusiaan
seperti yang dituduhkan kepada Saddam Hussein tersebut bisa dikategorikan
pelanggaran norma dasar. Pembunuhan massal yang dilakukan oleh kekuasaan Saddam
Hussein itu dijalankan dengan cara sistematis dan terdesain. Sistematis, karena
semua pihak yang bersilangan adalah lawan, dan semua lawan adalah kematian.
Kategorisasi seperti jelas tersistem dan didesain karena Irak di bawah
kekuasaannya adalah Irak tanpa pilihan, kecuali takluk di bawah bayang-bayang
Saddam Hussein. Desain Saddam adalah polarisasi: "aku" dan
"kalian". Desain inilah yang mengirim rakyat Irak ke akhirat secara
massal dan mengerikan. Ini jelas pelanggaran atas harkat kemanusiaan, yang juga
berarti pelanggaran atas norma dasar tadi. Posisi legal inilah yang memberi pembenaran
bagi Amerika, dan siapapun, untuk menangkap Saddam Hussein, dan menagih
pertanggungjawabannya sendiri.
3.
Soal :
Apakah materi Hukum Internasional di sekolah sudah bisa mencapai kompetensi yang dituntut ?
Apakah materi Hukum Internasional di sekolah sudah bisa mencapai kompetensi yang dituntut ?
Jawab :
Dalam
suatu pembelajaran sudah barang tentu terdapat kurikulum sebagai acuan arah
materi pembelajaran yang akan dibuat, dengan adanya kurikulum pendidikan maka
materi-materi yang ada dapat dikembangkan kedalam suatu silabus dan dispesifikkan
kedalam RPP. Dalam silabus ataupun RPP akan disinggung mengenai adanya standar
kompetensi, kompetensi dasar, ataupun standar kompetensi lulusan, berkaitan
dengan hal tersebut analisis saya mengenai materi hukum internasional yang selama ini diajarkan dirasa belum begitu sesuai dengan
kompetensi yang dituntut. Argument yang dapat mendukung pendapat saya adalah,
bahwa dalam Standar kompetensi dalam materi hukum internasionaal terdapat
kompetensi untuk dapat menganalisis hubungan internasional dan organisasi
internasional, sedangkan dalam kompetensi dasar terdapat kompetensi-kompetensi
untuk dapat mendeskripsikan pengertian, pentingnya, dan sarana-sarana hubungan
internasional, menjelaskan tahap-tahap perjanjian internasional, menganalisis
fungsi perwakilan diplomatik, mengkaji peran organisasi internasional (ASEAN, PBB,
AA) dalam meningkatkan hubungan internasional, menghargai kerjsama dan
perjanjian internasional yang bermanfaat bagi Indonesia. Berdasarkan penjelasan
SK dan KD tersebut menurut saya tidak terjadi kesesuaian diantara keduanya,
karena dalam SK bertujuan agar peserta didik dapat menganalisis hubungan
internasional dan organisasi internassional, dimana seharusnya dalam KD berisi
ulasan-ulasan mendalam mengenai tinjauan-tinjauan ilmu yang sifatnya
kontekstual dengan keadaan yang saat
ini terjadi, namun yang tertera dalam KD diatas hanya
materi-materi yang tidak mengindikasikan adanya tuntutan yang mengharuskan
peserta didik menganalisis suatu materi dan cenderung hanya untuk mengetahui materi
yang ada, sehingga menurut saya KD yang ada kurang detail dan fokus kearah standar
kompetensi yang ada. Untuk dapat menganalisis sesuatu sudah barang tentu
peserta didik perlu mendapatkan materi-materi yang detail dan analitis sehingga
jelas nantinya peserta didik tertuju kearah kemampuan analisis dari siswa. Keberadaan
materi-materi yang kontekstual akan mengasah kemampuan peserta didik menjadi
terbiasa mencari celah dalam setiap anggapan atau pendapat-pendapat dalam hukum
internasional sehingga bukan lagi mendiskripsikan, menjelaskan dan lain
sebagainya. Dengan adanya argument mengenai kesesuaian antara materi hukum
internasional dengan kompetensi yang dituju, menurut saya belum ada kesesuaian
diantara keduanya (dengan mengacu pada ergumen-argumen diatas). Selain
penjabaran diatas terdapat satu lagi argument yang dapat menjadi dasar mengapa
saya mengatakan bahwa antara skl, SK, dan KD yang tercantum belum sesuai dengan
penerapannya terutama dalam pembelajaran. Argument yang dimaksud adalah, bahwa
dalam SKL yang pertama terdapat standar isi yang berbunyi memahami
hakekat bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia (SMA/K) dan dalam Standar Kompetensi terdapat kompetensi yang
dituntut yaitu memahami hakekat bangsa dan negara
kesatuan republik Indonesia
(NKRI), diantara keduanya terlihat rancu karena keduanya
mempunyai bunyi kompetensi yang cenderung sama, padahal dalam SKL seharusnya
terdapat pernyataan acuan materi pembelajaran yang sifatnya lebih umum
sedangkan dalam SK terdapat kompetensi yang sifatnya lebih spesifik dari pada
SKL sehingga dengan kata lain bunyi kompetensi yang diterapkan dalam SK lebih
mendetail dan spesifik. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan bunyi
kompetensi dalam SKL dan SK, karena dalam SKL dan SK menyatakan bunyi yang
sama. Sehingga menurut analisis saya dari segi bunyi kompetensi dalam SKL dan
SK yang pertama menggambarkan ketidaklaziman, karena keduanya memiliki bunyi
yang sama sehingga kurang spesifik (karena semakin spesifik materi yang
disuguhkan semakin membuat peserta didik menjadi terarah akan materi yang perlu
ia pelajari).
SUMBER DATA
Anonim.
2009. “latar belakang
penangkapan Saddam Husein”.
(online), (http://google.com/penangkapan saddam Husein.html), diakses 15 Maret 2012)
Anonim.
2008. “hakikat teori
monisme primat hukum internasional”. (online), (http:/google.com/teori
monisme dalam perkembangan hukum internasional
.html), diakses 15 Maret 2012)
Anonim., 2008. “pertanggungjawaban
seorang kepala negara”.
(online), (http://yordangunawan.staff.umy.ac.id/?p=12.html), diakses 15 Maret 2012)
Kusamaatmadja
Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra
Abardin
0 komentar:
Posting Komentar