ANALISIS
PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TERKAIT KONFLIK INDONESIA - MALAYSIA (PULAU LIGITAN
DAN PULAU SIPADAN)
SOAL
UJI KOMPETENSI 3
Disusun untuk
melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional
Yang diampu oleh : Drs.
Machmud AR, S.H, M.Si
Oleh :
Dedy
Ari Nugroho
(K6410014)
PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
A.
Pernyataan :
Konflik
Indonesia-Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan akhirnya disepakati penyelesaiannya
diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Dalam keputusannya tanggal 17
Desember 2002 di Den Haag dinyatakan
oleh 16 Hakim menyetujui pulau itu
sebagai milik Malaysia dan 1 hakim menyatakan sebagai milik Indonesia. Dari 17
Hakim tersebut, 15 adalah Hakim Tetap dan 2 adalah tidak tetap yang
masing-masding dipilih oleh Indonesia dan Malaysia.
B.
Pertanyaan :
Apakah dasar keputusan
MI tersebut? dan apa implikasinya terhadap Teori Cara Memperoleh Wilayah Negara
?. Sebut dan Jelaskan
C.
Jawaban :
Konflik
yang terjadi antara Negara Malaysia dengan Indonesia pada dasarnya bukan
merupakan sebuah hal baru dalam berbagai perbincangan publik. Persoalan batas
wilayah dan batas kedaulatan Negara nyatanya turut mewarnai perdebatan public
seputar konflik yang terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut keberadaan pulau
Ligitan dan Sipadan turut menjadi obyek terjadinya konflik dimana pada saat itu
penyelesaiannya diserahkan kepada pihak mahkamah Internasional, dimana pada
saat itu sangat diharapkan akan menguntungkan kedua belah pihak. Pulau Sipadan
dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian kepulauan yang terletak di Selat
Makasar, di perbatasan antar kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur).
Sipadan Memiliki luas 50000 m² sementara Ligitan merupakan gugus pulau karang
seluas 18.000 m². Pada hakikatnya latar belakang munculnya konflik Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan mulai mencuat sejak tahun 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen
Indonesia dan Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua
pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah
negara Republik Indonesia, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta
yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis
Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk
mengukuhkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan
fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau
tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai
miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua
belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status
quo”. Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan Perdana Mentri Mahathir
Muhamad.
Tiga tahun kemudian
tepatnya pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara
bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil
pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan
kelompok Kerja Bersama (Joint
Commission/JC & Joint
Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang
dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada
prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah
Republik Indonesia menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk
Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan
forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur
tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tanggal
6 - 7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan Perdana Menteri
Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tanggal 31 Mei
1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the International
Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the
Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu
kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2
Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI
mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada
di tangan RI. Namun
demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi
masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2
Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply”
pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara
bersengketa pada 3 – 12 Juni 2002. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi
tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang
terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes
TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan
pakar hukum laut International.
Indonesia
mengangkat “co agent” RI di Mahkamah Internasional/ICJ yaitu Dirjen Pol
Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat
Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak
Malaysia. Proses hukum di Mahkamah Internasional/ICJ ini memakan waktu kurang
lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan.
Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah
dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dalam rangka
mengambil atau menyampaikan putusannya
Mahkamah Internasional dalam kasus
ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi
bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan
privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga
menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris
yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain
of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau
pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan
secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau
sengketa.
Mahkamah Internasional juga menolak
argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga
menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan
perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori
van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan
ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891.
Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang
berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat
argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
Sebagaimana putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa :
DASAR
PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
Mahkamah Internasional dalam persidangan-persidangannya guna mengambil
putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak)
materi hukum yang disampaikan oleh kedua Negara, melainkan menggunakan kaidah
kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation,
maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to
the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah
Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor
to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
Mahkamah Internasional
kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan
pulau-pulau tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation.
Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah
keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date
dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh
Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun
1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali.
Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu
digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah
sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963. Sehingga dapat dimengerti bahwa
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa
UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan
sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus
pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu
perundang-undangan nasional. Terhadap patroli Angkatan Laut Belanda yang
dilakukan sebelum tahun 1969, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan
bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan,
sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mahkamah berpandangan
bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan
Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris
tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions
of authority over territory which is specified by name”.
Hal tersebut dapat dimengerti dan semakin
melambungkan Malaysia karena hampir semua Juri Mahkamah Internasional yang terlibat
sepakat menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh kepada pihak
Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan
faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau
tersebut sebelum tahun 1969. Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan
menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai
yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya
Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan
administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
1.
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan
pengumpulan telur penyu sejak 1917.
2.
Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu
di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an.
3.
Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung.
4.
Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di
Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan
Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional
yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep
Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti
tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu
tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra
nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang
dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation
tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan
hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang
jelas. Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective
occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum,
atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan
makna dari occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti
pendudukan secara fisik.
Karena
temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan
sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang
membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat,
dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
Berdasarkan beberapa argument yang
dinyatakan diatas mengenai jatuhnya pulau Ligitan dan Sipadan ke pangkuan
Malaysia bahwa sesungguhnya bukti-bukti yang diajukan adalah
kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi
kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan
atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada
tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan
keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963 dan perlu disesali dalam
mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya
mekanisme regional ASEAN. ASEAN sebagai satu forum kerja sama regional, sangat
minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai
persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi
(High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas
untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial.
Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan
hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
IMPLIKASINYA
TERHADAP TEORI CARA MEMPEROLEH WILAYAH NEGARA
Dengan
jatuhnya pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke pangkuan Malaysia, tentu saja hal
tersebut menimbulkan polemik besar yang berkembang ditengah masyarakat
Indonesia. Polemic-polemik ini timbul karena adanya rasa tidak puas atas
putusan yang diberikan pihak Mahkamah Internasional. Polemik ini mengakibadkan
adanya rasa ketidakpercayaan atau dalam kata lain krisis kepercayaan dari
masyarakat bangsa Indonesia terhadap pemerintah yang ada. Krisis kepercayaan
ini timbul sebagai akibat dari lepasnya pulau demi pulau yang pelan-pelan
melunturkan atau bahkan secara tidak langsung mengikis integrasi nasional
bangsa Indonesia.
Selanjutnya
terdapat pula implikasi-implikasi yang ditimbulkan terhadap teori cara
memperoleh wilayah Negara, dalam hal ini tampak
secara jelas bahwa dengan jatuhnya pulau Ligitan dan Sipadan dengan menggunakan
doktrin Effective Occupation semakin mempertegas dan membuktikan adanya
kedigdayaan dari salah satu teori penambahan wilayah yaitu teori Okupasi.
Hal ini dikarenakan, jika diperhatikan dengan seksama etikat serta usaha yang
dilakukan oleh masing-masing Negara yang terkait sangat sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam teori Okupasi, yang merupakan penegakan keadulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah
penguasaan negara manapun (hal ini sangat sesuai karena ketika Indonesia
dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967,
bahwa pulau Ligitan dan Sipadan tidak masuk dalam kekuasaan Malaysia, dan
disisi lain pulau Ligitan dan Sipadan tidak tertera pada peta yang menjadi
lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia), baik wilayah yang baru ditemukan ataupun
suatu hal yang tidak mungkin yang ditinggalkan oleh negara semula. Penguasaan tersebut harus dilakukan
oleh negara dan bukan oleh orang perorangan (hal ini juga sesuai dengan
persengketaan yang ada, karena yang mengusahakan kedaulatan atau kepemilikan
daerah tersebut adalah negara-negara terkait dan bukan perorangan dari
masing-masing negara), secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan
wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus
ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya
penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan bendera atau
pembacaan proklamasi. Penemuan saja tidak cukup kuat untuk menunjukkan
kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya memiliki dampak sebagai suatu
pengumuman. Agar penemuan tersebut mempunyai arti yuridis, harus dilengkapi
dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu tertentu. Sehingga
kesesuaian ini, menurut pendapat saya dapat dinilai sebagai implikasi yang
ditimbulkan dari lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan melalui penerapan
doktrin effective occupation, terhadap
teori cara memperoleh wilayah secara Okupasi. Sehingga secara implicit
digunakannya doktrin effective Occupation mampu menyuguhkan dampak/implikasi
bagi keberfungsian teori Okupasi, sebagai salah satu teori yang legimate.
SUMBER DATA
Anonim.
2010. “putusan Mahkamah Internasional tentang pulau Ligitan dan sipadan”. (online), (http://hukum.kompasiana.com/2010/10/17/keputusan- mahkamah-internasional-tentang-pulau-sipadan-dan-ligitan/.html), diakses
5 Mei 2012.
Anonim.
2003. “lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan”.(online),( http:// blog .theos ambuaga.com/2003/04/19/sipadan-dan-ligitan-suatu-pelajaran-berharga/
.html), diakses 5 Mei 2012
Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan
dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Wikipedia.
2011. Sengketa Sipadan dan Ligitan dalam kancah ketahanan RI. Online. (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Diakses tanggal 05 Mei 2012.
Anonim.
2008. “Dasar putusan Mahkamah Internasional mengenai Pulau Ligitan dan Sipadan”. (online), (http://Google.com/2008/10/dasar-Putusan- Ligitan-Sipadan.html), diakses
5 Mei 2012.
0 komentar:
Posting Komentar